Oleh: Sigit Indrijono
Merawat Empati Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah [5]: 2).
Sesuai fitrah, manusia diciptakan oleh sebagai makhluk sosial maka secara mutlak dibutuhkan interaksi. Sehingga, terjadi sosialisasi, tolongmenolong, dan saling melengkapi sesuai kemampuan yang ada pada tiap individu.
Pernahkah terpikir saat menikmati makanan, berapa orang yang berkontribusi terhadap kita? Makanan yang kita makan melibatkan peran petani, nelayan,dan pedagang makanan.
Bahkan pekerja tambang gas dan pekerja kilang pengolah gas untuk memasak makanan ikut berperan juga. Karunia Allah berupa makanan sebagai kebutuhan pokok hidup diturunkan kepada kita dengan perantaraan sekian banyak orang.
Pada tahapan proses kehidupan di dunia, saat kelahiran dan saat kematian, seseorang tidak berdaya sama sekali untuk melakukan sesuatu dan pasti sangat membutuhkan pertolongan orang lain.
Dengan gambaran di atas, seharusnya kita sadar untuk tidak bersifat egoistis, yaitu memen tingkan diri sendiri, mengabaikan kepentingan orang lain, dan meremehkannya. Untuk menghilangkan sifat egoistik diperlukan suatu ikhtiar, yaitu dengan menumbuhkan empati. Dengan empati, kita bisa saling memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Sehingga, tidak akan meraih tujuan yang menyebabkan penderitaan dan kesesengsaraan pada orang lain.
Saling memahami yang timbul dari empati akan meningkatkan kesadaran terhadap saling ketergantungan dan menimbulkan keinginan tolong-menolong. Kemudian terjalin rasa belas kasihan dan tenggang rasa sebagai sesama hamba Allah.
Rasulullah, panutan kita, mempunyai empati yang dalam terhadap orang lain, seperti yang tergambar dalam ayat berikut ini. ”Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS at-Taubah [9]: 128).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”Seorang Muslim bersaudara dengan sesama Muslim lainnya, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dibiarkan dianiaya oleh orang lain. Dan barang siapa yang menyampaikan hajat saudaranya, niscaya Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan barang siapa membebaskan kesukaran seorang Muslim di dunia, niscaya Allah akan membebaskan kesukarannya di hari kiamat.
Dan barang siapa yang menutupi kejelekan seorang Muslim, niscaya Allah akan menutup kejelekannya di hari kiamat.” (HR Bukhari Muslim).
Hadis di atas menekankan tentang pentingnya empati dengan memahami permasalahan yang dihadapi orang lain dan kepedulian terhadap kesulitan orang lain, Allah akan memberikan ganjaran pahala.
Empati adalah sikap emosional untuk berusaha memahami dan mengerti setiap rangkaian keadaan dan peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Jadi, empati tidak sekadar rasa.
Sesungguhnya, empati baru berarti manakala berlanjut pada tatanan perbuatan. Karena, ini serasi dengan ajaran Islam bahwa kesalehan hati harus berlanjut pada kesalehan amal.
Misalnya, merasa empati ketika melihat orang di sekeliling kita sakit dan tidak berdaya; orang tua yang kesusahan untuk mencukupi biaya hidup anak-anaknya; melihat rumah tetangga kebakaran; dan musibah lainnya. Tidakkah hati dan nurani kita tersentuh pada hal ini?
Ternyata, jika kita mau membuka hati, ada banyak hal di sekitar kita yang membutuhkan kepedulian. Walau hanya dengan ucapan terima kasih, ucapan cinta kepada orang yang dicintai atau hanya sekadar doa.
Empati tidak harus berwujud materi dan bantuan dana. Memberi perhatian kepada orang lain, berusaha membuat orang lain tersenyum, tidak menyakiti, dan menyusahkan orang lain adalah wujud lain empati.
Begitulah Rasulullah SAW dan para sahabat menjadi qudwah (teladan) dalam kasih sayang dan menanamkan empati kepada sesama. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan, ”Sesungguhnya, aku berdiri shalat dan aku ingin memperpanjang shalat. Lalu, aku mendengar tangisan bayi maka aku perpendek karena aku takut hal itu akan memberatkan ibunya.” (HR Bukhari).
Walaupun semua orang memiliki hati, tidak semua orang mampu menyingkap setiap rangkaian peristiwa yang terjadi. Inilah arti penting empati bagi seorang Muslim.
Akhirnya, hanya ketajaman mata hati yang dibutuhkan untuk memahami hal-hal yang kasat mata seperti itu. Karena, dengan menanamkan rasa empati pada lingkungan, berarti telah berbuat baik kepada diri sendiri.
Dengan empati, kita tidak akan pernah kehilangan apa yang diberikan Allah SWT, bagai menanam satu biji tanaman kebaikan yang akan kita panen hasilnya. ‘
‘Orang-orang yang penyayang, maka mereka akan disayangi Allah. Barang siapa yang menyayangi yang di bumi, maka akan disayangi penghuni langit.” (HR Abu Dawud dan at-Turmidzi).