Rasululloh shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ”
Sengsara Karena Dusta “Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR. Muslim).
Apa yang diucapkan oleh seseorang mungkin benar dan tidak ada kesalahan di dalamnya, tetapi ada kesalahan dalam menangkap pembicaraan.
Bisa juga terjadi seseorang tidak tepat mengingat pembicaraan yang ia dengar: ingatannya bercampur aduk. Maka, keliru ia dalam menceritakan. Bercampur-aduknya ingatan dapat juga terjadi karena mendengar pembicaraan dua orang atau lebih.
Ingat perkataan, tak ingat penuturnya secara tepat. Bisa juga terjadi seseorang mendengarkan informasi yang tak lengkap, tapi ia mencukupkan diri dengannya. Maka kelirulah ia jika menyebarkan.
Ada banyak sebab informasi tak lengkap. Bisa alasan yang benar, bisa juga tidak. Yang berbahaya adalah jika kita lengkapi dengan persangkaan. Lebih berbahaya lagi jika informasi yang ia dengar memang salah. Maka, ia dianggap berdusta karena menyebarkan informasi yang salah itu. Ia dihukumi berdusta karena ia tidak memeriksa kebenaran informasi tersebut. Di sini ada kewajiban untuk melakukan tatsabbut.
At-tatsabbut adalah berhati-hati dalam menukil berita dan ketika berbicara. Kita memastikan kebenarannya. Bukan sekedar tabayyun.
Rasulullah SAW bersabda, “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka, berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Hadis ini menggambarkan kondisi akhir zaman. Suatu kondisi yang tampaknya mulai terasa sekarang, seiring dengan melemahnya nilai-nilai iman.
Saat ini orang sudah tidak merasa risih berdusta. Bahkan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, bisnis, hiburan, politik, birokrasi, hingga pemerintahan.
Semuanya tidak lepas dari praktik dusta, kecurangan, dan kepalsuan. Ada yang berdusta untuk kepentingan dunia; untuk mendapatkan harta, takhta, dan wanita. Ada yang berdusta untuk mencelakakan saudara karena dendam dan kebencian.
Ada juga yang berdusta karena canda, hobi, dan kebiasaan. Akhirnya, virus penyakit dusta ini menyebar ke mana-mana. Cukuplah kita memahami bahaya besar dari berdusta ketika Allah menyebutkannya dalam Alquran sebanyak 280 kali seraya memberikan ancaman keras kepada orang yang biasa berdusta sekaligus menafikan keimanannya.
Di antara dampak buruk dan bahaya dusta adalah sebagai berikut.
Pertama, berdusta membuat pelakunya tidak bisa tenang dan selalu merasa gelisah. Rasulullah SAW bersabda, “Jujur mendatangkan ketenangan sementara dusta mendatangkan keragu-raguan (kegelisahan).”
Kedua, dusta menjadi penyebab jatuhnya citra, nama baik, dan kehormatan si pelaku. Orang menjadi kehilangan kepercayaan padanya.
Ketiga, dusta menjadi bagian dari bentuk kemunafikan sehingga mengancam eksistensi iman.
Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga. Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila dipercaya ia khianat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, kalaupun si pendusta selamat dan aman di dunia, ia berhasil membungkus segala kepalsuan, kedustaaan, dan kebohongannya dengan berbagai macam intrik dan tipu daya sehingga orang tetap percaya maka di sisi Allah ia tidak akan bisa selamat.
Bahkan, dalam hadis disebutkan, “Dusta mengantar pada kejahatan, dan kejahatan mengantar kepada neraka. Manakala seseorang terus berdusta dan berusaha berdusta, ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Bukhari).
Karena itu, tidak ada jalan lain bahwa hidup tenang, bahagia, terhormat, dipercaya, dan sukses dunia akhirat hanya bisa didapat dengan kejujuran. Kejujuran adalah modal dasar orang-orang istimewa.