Mulia karena Tawadhu

Mulia karena Tawadhu
banner 120x600

Mulia karena Tawadhu Secara fisik, manusia adalah makhluk termulia. Namun, kemuliaan itu tidak serta-merta menjadikannya mulia di sisi Allah. Sebab, Allah memuliakan seseorang tidak melihat pada fisik, jabatan, atau atribut duniawi yang melekatinya.

Allah menilai manusia berdasarkan iman dan amal saleh. Salah satu amal saleh yang menjadi sumber kemuliaan manusia adalah tawadhu. Allah memerintahkan nabi dan seluruh umatnya agar memiliki sifat ini. Allah berfirman, “Dan berendah dirilah (tawadhu) kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS al-Hijr: 88).

Allah memerintahkannya karena tawadhu adalah faktor penting di balik lahirnya akhlakul karimah. Sopan santun, menghormati, mengasihi sesama, dan sederet sifat-sifat mulia lainnya adalah buah dari sifat tawadhu.

Mulia karena Tawadhu

Apakah tawadhu itu? Hasan al-Bashri berkata, tawadhu itu adalah engkau keluar dari rumahmu dan tidak engkau jumpai seorang Muslim kecuali engkau melihatnya ia memiliki keutamaan yang tidak engkau miliki. (Al-Ihya, 3/342).

Termasuk dalam makna tawadhu adalah menerima kebenaran dari manapun datangnya kebenaran itu. Fudhail bin Iyadh pernah ditanya tentang tawadhu, lalu ia menjawab, tawadhu itu adalah seorang tunduk kepada kebenaran, patuh dan menerimanya meski kebenaran itu datang dari anak kecil atau orang yang bodoh. (Madarijussalikin, 2/329).

Ketika seorang mampu menghadirkan tawadhu dalam dirinya, beragam kemaslahatan akan didapatkannya. Sebab, ketawadhuan bukanlah sesuatu yang hanya mengendap dalam hati. Ia akan memancar dalam sikap, tingkah laku, dan tutur kata.

Oleh sebab itu, sifat tawadhu sejatinya adalah kebutuhan mendasar dan mendesak setiap orang beriman. Pejabat atau rakyat biasa sangat membutuhkannya. Betapa indahnya kehidupan bermasyarakat jika pemimpin dan rakyatnya menghiasi diri dengan sifat tawadhu.

Inilah salah satu kunci sukses Rasulullah dalam memimpin umat. Beliau memimpin dengan penuh ketawadhuan. Meski berstatus pemimpin besar, utusan Allah yang mulia, sifat sombong tidak punya tempat bertakhta di dalam kalbunya. Sifat tawadhu menjadi perisai yang amat tangguh untuk menangkis sifat sombong.

Alhasil, kesederhanaan dan kebersahajaan tetap setia menyertai hari-hari beliau hingga akhir hayat. Ia pun menjadi panutan dan sosok yang begitu dicintai sahabatnya dan orang beriman.

Jadi, merendahkan diri dalam konteks tawadhu karena Allah bukanlah kehinaan. Justru, sikap seperti itulah yang akan menempatkan kita pada maqam yang mulia, tentunya jika tawadhu itu karena Allah, bukan pencitraan.
Menurut Syaikh Izzudin dalam Syajarah al-Ma’arif, merendahkan diri (ikhbat) adalah tawadhu kepada Allah SWT. Tawadhu itu refleksi dari watak rendah hati, tidak merasa besar. Orang yang berwatak rendah hati, secara psikologis, bersedia merendahkan diri agar tidak takabur. Jadi tawadhu adalah cermin pribadi yang berwatak rendah hati.

Secara subtansial, orang yang merendahkan diri di hadapan manusia tidak berarti hina. Dia hanya tidak lagi membutuhkan pujian dari sesama manusia. Dia hanya berharap pahala dari Allah SWT dengan merendahkan diri di hadapan-Nya. Apalagi sejatinya manusia itu rendah. Kendati meninggikan dirinya, akan tetap rendah hakikatnya.

Pahala tawadhu kepada Allah SWT adalah surga, seperti terurai dalam Alquran, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Hud/11: 23). Ini baru pahala yang berdimensi eskatologis.

Merendahkan diri kepada Allah SWT menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits, berarti mengagungkan-Nya. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang bersikap merendah karena Allah, maka Allah akan meninggikannya. Dan barangsiapa yang bersikap sombong, maka Allah akan merendahkannya.” (HR. Thabrani).

Allah SWT berfirman, “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang merendahkan diri.” (QS. al-Hajj/22: 34). Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan orang yang merendahkan diri, menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah orang yang taat. Maka ciri khas orang yang tawadhu adalah orang yang taat dan takut kepada Allah SWT.

Merendahkan diri di hadapan manusia berarti juga meredam orang lain membanggakan dirinya. Sebab sifat manusia memang suka berbangga dalam hal apa saja. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga sebagian kalian tidak membanggakan diri kepada sebagian yang lain.” (HR. Muslim).

Untuk meredam orang yang membanggakan dirinya dapat dilakukan dengan membanggakan diri juga. Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, mengutip hadits Nabi SAW, “Bersikap sombonglah kamu terhadap orang yang sombong, karena sesungguhnya bersikap sombong terhadap orang yang sombong adalah sedekah.”

Namun tidak demikian halnya kepada orang-orang fakir, Nabi SAW melarang bersikap sombong kepada mereka. Dalam Lubab al-Hadits Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang bersikap sombong kepada orang fakir, maka Allah akan melaknatnya, dan barangsiapa yang sombong kepada ulama, maka Allah akan membuka kejelekannya.”

Selain itu, merendahkan diri berarti mencontoh sikap para nabi. Nabi SAW mengabarkan, seperti yang dikutip Syaikh Nawawi Banten, “Sikap merendah termasuk akhlak para nabi, sementara sikap sombong termasuk akhlak orang-orang kafir dan para Fir’aun”. Tentu mencontoh akhlak mulia para nabi akan mendapatkan pahala yang besar.

Hanya saja ada catatan tentang tawadhu ini. Secara praksis, tawadhu bukanlah merendahkan diri untuk dihormati. Mengaku bodoh agar dikatakan berilmu. Mengaku orang biasa agar orang tahu bahwa sebenarnya dia adalah orang besar. Mengaku miskin agar orang tahu bahwa sebenarnya dia memiliki kekayaan melimpah ruah.

Dalam kaca mata tasawuf, orang tawadhu adalah orang yang tidak memandang ada kelebihan pada dirinya tinimbang orang lain. Kendati nyatanya ada, itu adalah karunia Allah SAW semata. Begitu juga ketika melihat kekurangan seseorang, segera ia mencari kelebihan yang mungkin ada pada orang itu. Agar dia tidak merasa mempunyai kelebihan.