Sayyed Hossein Nasr : Nestapa Manusia Modern Dilihat dari nama yang menggunakan Sayyed dapat diduga bahwa Hossein Nasr merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad saw. Dia lahir tahun 1933 di Teheran.
Data tentang tanggal dan tempat/kampung dia dilahirkan tidak ditemukan. Suasana Iran ketika dia dilahirkan di bawah kekuasaan Syah Reza Pahlevi yang melakukan restorasi di berbagai bidang kehidupan.
Hal ini dapat dipahami karena pada saat itu kekuasaan Iran di bawah “ koordinasi ” Amerika yang memang menghendaki perubahan menyeluruh di negeri Iran. Itulah kenapa Syah Reza dikatakan sebagai kaki tangan Amerika.
Baca Juga
Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga terdidik, Nasr belajar sejumlah ilmu, baik tradisional maup un ilmu-ilmu modern. Dia banyak belajar dan menyerap ilmu dari sejumlah guru di antaranya; Sayyid Muhammad Kazim Assar, Muhammad Husain Tabataba’i, Sayyid Abul -Hasan, Qaswini Rafi’i, Jawad Muslih, dan Murtadha Mutahhari.
Merasa tidak cukup mendapat pengetahun dinegerinya,Nasr memutuskan untuk belajar ke Barat. Negara tujuan pertamanya adalah Eropa. Setelah mendapat gelar diploma Bachelor of Science (B.S) dalam bidang Fisika dari Massachussets Institute of Technology (MIT), dia melanjutkan studinya ke Harvard University, dan pada tahun 1958, telah meraih gelar Philosophise Doctor (Ph.D) dalam usia 25 tahun dengan menulis sebuah karya disertasi yang berjudul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964). Karya ini ditulis dilatarbelakangi oleh mi nimnya pembahasan tentang kosmologi Islam di dunia Barat. Nasr ingin mengeksplorasi kajian keislaman terutama di bidang kosmologi dan menyebarkan gagasannya di di dunia Barat.
Sekembalinya dari Amerika, dia dipercaya untuk mengajar di Universitas Teheran. Pendidikan Barat yang pernah diterima, tidak mempengaruhi cara pandang dan pola kehidupan dengan tradisi Islamnya. Meski mengenyam pendidikan di Barata, tetapi dia masih haus akan tradisi keislaman. Itulah kenapa dia melanjutkan belajat tasauf kepada seo rang ulama besar Muhammad Husain Tabataba’i, 5 seorang penulis kitab Tafsir Tabatabai yang dianggap sebagai pelanjut pemikir Mu’tazilah.
Di akhir tahun 1962, Nasr diundang menjadi dosen tamu di Harvard University, untuk memberikan kuliah umum tentang pemiki ran Islam. Setelah itu, pemikirannya tersebar di dunia Timur dan Barat melalui sejumlah buku, artikel, tabloid, dan kuliah yang dia sampaikan di khalayak publik. Di antara bukunya yang terkenal adalah Knowledge and the Sacred (1981), Man and Nature: The Spiritual Cricis of Modern Man (1968), Ideals and Realitis of Islam (1966), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).
Pemikiran Sayyed Hossein Nasr
Manusia modern sedang mengalami berbagai krisis akut, yang menurut Nasr, berawal dari krisis spiritual yang menimpa mereka juga. Perkembangan teknologi Barat yang tidak diimbangi dengan nilai esoterios membuat mereka terhempas dalam badai. Iptek yang selama ini dipuja -puja justeru menjadi “bumerang” bagi manusia dengan mengalirkan arus g lobalisasi dan informasi yang demikian dahsyat bahkan menurut Hosen Nasr, ilmu akhirnya menjadi penguasa dan mendominasi alam.
Sebaliknya pada sebagian kelompok masyarakat dunia terdapat pula mereka yang sudah mulai jenuh bahkan muak dengan glamouritas, materialisme, hidonisme, kompetisi tidak sehat, keserakahan, keangkuhan, sadisme, kekerasan dan sebagainya. Mereka mulai mencari pegangan, arahan dan perlindungan untuk tetap meng”ada”kan dan menghadirkan nilai spiritualitas di dalam kehidupannya.
Dalam konteks seperti ini, sufisme menjadi rujukan dan lahan subur bagi mereka yang mencari perlindungan dari “ancaman” duniawi yang penuh dengan sandiwara. Hanya saja mungkinkan sufisme mampu memberikan jawaban dan menghilangkan kedahagaan rohani ? mengingat pa radigma sufisme terlanjur dikemas dalam sebuah tatanan “anti duniawi”, padahal manusia yang berada di dalamnya justru berada dalam genggaman dunia itu sendiri.
Dalam konteks inilah Nasr melihat masyarakat perkotaan (urban people) kini sedang mencari -cari panasehat yang bersifat spiritual, baik yang berdasarkan pada suatu tradisi tertentu atau tidak.
Harifuddin Cawidu, mengemukakan tiga faktor utama penyebab manusia – manusia perkotaan modern melirik spiritualitas sebagai alternatif.
- Faktor ideologi dan pandangan hidup
Masyarakat modern (diwakili oleh Barat) didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan menafikan aspek spiritual. Akibatnya terjadi desakralisa si kehidupan. Realitas hidup adalah “kini/kekinian” dan “di sini/kedisinian”. Masa depan, apalagi hidup sesudah mati, merupakan hal yang nisbi.8 Jika mereka beragama, tampaknya agama hanya dianggap sebagai sebuah identitas simbolik, bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam perilaku. Konsekuensinya terjadilah pembusukan nilai agama akibat agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas simbol/topeng.
Pandangan hidup seperti di atas berpadu dengan falsafah humanistik esktrem yang menjadikan manusia sebagai pusat dan ukuran segala -galanya. Di satu sisi mereka mengagungkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang termulia, tetapi di sisi lain justeru menginjak -injak harkat dan martabat manusia itu sendiri. Di samping itu humanisme hi pokrit juga melanda dunia modern. Pada waktu tertentu, atas nama demokrasi dan keadilan, terdapat sekelompok bangsa perkasa menindas, membantai bahkan menghancurleburkan peradaban bangsa lain, tetapi di sisi lain, juga atas nama keadilan dan demokrasi bang sa perkasa tersebut juga membiarkan kejahatan kemanusiaan terjadi di depan batang hidungnya.
Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai -nilai kemanusiaan. Agama dan Tuhan seakan diabaikan, bahkan ada kecenderungan manusia modern memerankan dirinya sebagai “tuhan” di atas bumi dan membuang dimensi transcendental dari kehidupannya.
- Faktor dominasi Ilmu Pengetahuan dan teknologi
Kecanggihan material sebagai hasil kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini telah mempermudah hidup dan kehidup an manusia. Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan bertambahnya setiap penemuan baru di bidang teknologi. Persoalan teknologi ini sesungguhnya bukanlah hal baru. Sejak 5000 tahun yang lalu orang sudah memanfaatkan teknologi, sesua i dengan ukuran zamannya.
Akan tetapi fenomena dominasi Iptek yang dipaketkan dengan ideologi kapitalisme menyebabkan manusia kehilangan kebebasan dan makna kemanusiannya yang hakiki di tengah kehidupan megamekanis. Peran -peran manusia telah digantikan ol eh dominasi mesin yang bersifat atomistis, bahkan pemberian nilai -nilai edukatif orang tua di rumah tangga sekalipun, diambil alih oleh peran media elektronik. Jika pada masa lalu, anak tertidur di dalam belaian ibunya, diiringi dengan senandung religius, budaya atau dongeng sebelum tidur., fenomena sekarang menunjukkan sebaliknya. Tidak sedikit anak tertidur di depan tayangan sinetron televisi yang menyajikan kekerasan, dendam, romantisme, pergaulan bebas dan lain-lain.
Akibatnya, tujuan hidup mulai kabur, ekosistem dikacaukan, masyarakat diracuni oleh posmodernisme, lembaga perkawinan tidak dianggap lagi sakral, rumah tangga berantakan, adat dan tradisi menjadi rusak dan iman telah lama menguap dari lubuk hati manusia. Mereka terasing dari dirinya sendiri, dari lingkungan dan dari Tuhannya. Terjadilah apa yang diistilahkan ahli psikologi sebagai dislokasi kejiwaan, disorientasi dan deprivasi relatif. Mereka merasa tersingkir, terhempas dalam ketidakberdayaan. Eskapisme ini akhirnya mengambil bentuk mabuk-mabukan, penyalahgunaan zat-zat adiktif, selingkuh (memburu “kesenangan” di luar rumah tangganya) dan ada juga yang lari ke agama atau ke pseudo agama yang menjanjikan ketenteraman batin.
- Melamahnya pengaruh gereja tradisional menyebabkan disfungsionalny a agama Nasrani (Kasus di Barat)
Pelarian manusia kepada non organized religion disebabkan agama formal di Barat (Nasrani) tidak memberi tempat yang sejuk bagi kegersangan masyarakat. Agama formal tersebut tidak cukup akomodatif menampung aspirasi, keresahan, kegelisahan jiwa, frustasi, dan penyakit modern seperti ; perceraian, broken home, kekerasan seksual dan berbagai bentuk sadisme yang lain. Jembatan Golden Gate di Amerika Serikat sebagai simbol kemajuan Intelegence Qoutient (IQ) manusia, justeru saat ini menjadi saksi bisu tewasnya ribuan manusia akibat terjun bebas dari jembatan tersebut.
Kondisi seperti ini terjadi akibat tidak adanya keseimbangan antara dimensi zikir dan pikir, rasa dan rasio. Akal tidak diharmoniskan dengan wahyu, aspek individu tidak diimbangi dengan sosial, kreatifitas tidak dibarengi dengan cita, cinta kasih dan sebagainya. Akibatnya, manusia modern (perkotaan )terhempas dalam badai kehampaan. Oleh karena itu, agama menawarkan jalan alternatif (khususnya) di dalam ajaran Is lam melalui pintu sufisme/tasauf yang lebih mengedapankan kasih sayang, humanisme, peradaban, kesamaan yang berorientasi kepada persaudaraan universal.
Terdapat beberapa cara pandang mengapa urban sufism (Sufisme perkotaan) semakin berkembang terutama di k ota-kota besar. Dalam kaitan ini, Kamaruddin Hidayat memberikan beberapa catatan penting.
Pertama, sufisme di perkotaan lahir sebagai bentuk dari pencarian makna hidup ( searching for meaning) akibat menguatnya paham dan gaya hidup materialisme yang menyisakan ruang hampa dan kering dalam lubuk hati seseorang.
Kedua, maraknya spritualitas pada masyarakat perkotaan mungkin juga sebagai medium catarsis dari rasa dosa yang melilit kehidupan sosial serta sebagai pelarian diri dari kepengapan hidup di kota modern yang penuh kompetisi ( Psychological Escapism).
Ketiga , maraknya fenomena sufisme juga dilihat sebagai respons dan kritik terhadap wacana keagamaan yang kering dan legalisitik yang kurang memberikan ruang imajinasi dan eskplorasi rasa keagamaan, sehingga ruang agama terasa sempit dan penuh ancaman neraka yang menakutkan.
Keempat , pendekatan tasauf dirasakan sebagai jalan termudah dan ternyaman untuk menemukan identitas keberagamaan bagi kelas menengah kota yang selama ini merasa jauh dari agama.14
Di atas semua itu, sufisme perkotaan harus dilihat sebagai fenomena yang terkait dengan tasauf yang berakar dalam tradisi Islam, baik secara historis maupun teologis. Tasauf dalam Islam sesungguhnya aspek esoterik penting bahkan inti ( heart) dari esoterisme Islam .
Lebih jauh Kamaruddin Hidayat menyatakan bahwa sufisme perkotaan yang tumbuh saat ini lebih merupakan ekspressi dan minat orang pada ajaran agama yang menekankan dimensi spiritual -psikologis yang jelas berbeda dari pendekatan fikih, politik, teologi da n filsafat yang memang lebih mapan dalam tradisi kajian keislaman. Kritik yang sering dilontarkan kepada sufisme perkotaan adalah bahwa mereka mencari jalan pintas dan nyaman untuk mendekati agama tanpa harus bersusah payah melakukan kajian intelektual secara mendalam. Yang penting kebutuhan psikologis keagamaan terpenuhi, sementara dahaga intelektual agak terlupakan.
Berbeda dengan sufisme konvensional, gerakan sufisme perkotaan berasal dari kelas menengah ke atas. Sufisme yang pernah dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam, bertentangan dengan etos modernisme dan dianggap sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam, kini justeru menjadi trend di kalangan orang-orang ”berada” di perkotaan.
Tekanan kepada dimensi kemanusiaan, menjadikan suf isme semakin relevan dan mendesak diaplikasikan dalam mengadapi era globalisasi ini, yaitu zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. 15
Dalam kaitan ini, Nasr mengid entifikasi urgensi sufisme dalam kehidupan masyarakat modern, sebagai mystical quest (kebutuhan mistik permanen).
Sufisme, dalam konteks substantifnya menurut Nasr memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dari suku dan agama manapun, karena p ada dasarnya, manusia memerlukan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Kedua hal ini tidak ditemukan dalam dunia bendawi yang hanya memberikan kesenangan sementara. Oleh karena itu, manusia modern mau tidak mau, sadar atau tidak sadar sedang berlomba mencari aj aran-ajaran mistik, termasuk dalam tradisi keagamaan, Fenomena seperti itu disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia pada asalnya merasakan dambaan mistik ( mystical quest ) yang sifatnya langgeng.
Ketika membahas masalah ini, Nasr mengutip penafsiran Kamal uddin Husain Kashifi, pengulas sufi abad 9 H. terhadap istilah Al -Qur’an ahsan taqwim dalam QS. al-Thin (95:465), bahwa hal itu berarti Tuhan menciptakan manusia sebagai alamat Tuhan yang paling lengkap dan sempurna, pentas paling universal di mana bermain segala lakon ke-Tuhanan, sehingga dengan begitu ia mampu menjadi pembawa amanat Tuhan dan sumber dari pancaran yang tak terbatas. Menurut Nasr, jika manusia membawa cetak biru bentuk ke -Tuhan-an sudah tentu ia memiliki kodrat ke -Tuhan-an seperti dinyatak an dalam sebuah hadis, “Tuhan menciptakan manusia menurut gambaran diri -Nya Khalaqa Allah Adam ala suratih .
Perjanjian primordialisme manusia dengan Tuhan di saat mereka diambil persaksian (QS. Al-Araf; 172) menjadikan manusia, baik yang beragama maupun mengaku tidak beragama tidak dapat berpaling dari nilai -nilai ketuhanan. Mereka dapat saja menyatakan tidak percaya kepada Tuhan, tetapi mereka membutuhkan keadilan, kedamaian dan kejujuran. Bukankah sifat -sifat ini berasal dari sifat Tuhan (al-adl, al- Salam, al-Mu’min/al -Haqq). Itulah kenapa Tuhan berkata; Ke manapun engkau menghadap, engkau akan bertemu Tuhan. (QS. Al -Baqarah; 115)
Nasr menegaskan bahwa seluruh makhluk bumi yang fana berasal dari yang ada, sumber cahaya dari segala yang hidup, dan wuju d serta pengetahuan merupakan tujuan akhirnya. Ini merupakan prinsip kehidupan yang sangat sistematis. Jika limpahan cahaya yang ditadah oleh orang -orang yang berwatak kontempalatif tidak lagi mencerahi lingkungan bumi yang fana, maka rantai penghubung antara wujud dan manifestasi kebumiannya akan terputus dan berakhir. Konsekuensinya adalah bahwa tanpa pertalian antara manisfestasi dengan sumbernya, maka ia akan terjerembab ke dalam lembah kebahagiaan nihil atau kehampaan.
Dalam konteks ini, Nasr memberi dalih bahwa prinsip ini sama benarnya dengan sebuah ungkapan tradisi yang menegaskan bahwa dunia tidak akan kiamat sepanjang masih terdapat manusia yang menyapa dan menyeru Tuhan. Oleh karena alasan itulah, maka dalam Islam terdapat ungkapan “bumi tidak akan kosong dari kesaksian Tuhan”.
Nasr menganalisis bahwa kondisi ”gerah” yang melanda kehidupan manusia modern akibat terjadi split soul (keterbelahan jiwa). Terjadi pemisahan antara segmentasi intelektualitas dan spiritualitas. Jika di mesjid, orang hany a bicara spiritualitas lupa intelektualitas, sebaliknya jika di kantor atau perguruan tinggi, orang berbicara intelektualitas, lupa spiritualitas.
Terjadi pemisahan kontemplasi dari aksi, Penyebab disequilibrium antara kedua mode primordial eksistensi manusia itu, menurut Nasr, berasal keteretasan manusia modern dari pusat eksistensinya dan berupaya untuk merasa puas dengan berada di pinggiran lingkaran eksistensi melalui aksi yang fragmentaris. 22 Kontemplasi dalam konteks spiritual Islam seperti dalam tra disi-tradisi utuh lainnya, menurut Nasr, adalah suatu pengetahuan yang menghubungkan sikap si pengamat dengan mode – mode kehidupan yang lebih tinggi.
Berpijak pada pengamatannya terhadap kondisi manusia modern, Nasr menyadari pentingnya mengintroduser aj aran-ajaran Islam baik dalam bentuk doktrin maupun yang bersifat praktis untuk mengatasi dan menghadapi problem problem manusia Barat modern sendiri, kemudian mengalihkan perhatian kepada ajaran Islam tentang kehidupan kontemplatif dan aktif sebagai altern atif bagi kebutuhan spiritual manusia. Di samping itu, kerancuan dan kontradiksi dalam pemikiran serta kekaburan dan jerat -jerat intelektual yang mencirikan pemikiran modern yang merupakan halangan terbesar bagi integrasi pikiran manusia yang dapat diobati dengan penyucian melalui doktrin metafisika sufi yang membersihkan limbah ketakpastian.
Nasr memberikan contoh bahwa dengan merenungi sekuntum bunga, misalnya, atau setangkai gandum, serumpun semak, atau sebatang pohon. Memandang fenomena ini mestinya me mbawa seseorang dekat kepada Tuhan melalui kontemplatif dengan mengajukan sejumlah pertanyaan -pertanyaan yang mampu menggugan kesadaran siapad balik penciptaan yang ada. Dengan demikian seorang muslim yang jiwanya cenderung kontemplatif akan merasakan kepuasan jiwa yang dapat mengantarnya menuju kepada yang Tak Terhingga (Allah).
Kontemplasi dalam pengertian Nasr, selalu diintegrasikan dengan pengertian aksi. Bentuk kontemplasi spiritualitas Islam tidak pernah bertentangan dengan aksi yang benar; bahkan sebaliknya, menurut Nasr, ia sering berpadu dengan dorongan batin yang dapat dibendung untuk melakukan aksi.
Nasr melihat, bahwa perpaduan di dalam batin inilah sesungguhnya yang menjadikan kebudayaan Islam mencapai puncak kejayaan sebagai kebudayaan yang paling kokoh dan aktif sepanjang sejarah manusia, yang sekaligus memperlihatkan kehidupan kontemplatif yang paling intensif.
Lebih jauh, keselarasan antara kontemplasi dan aksi dalam tradisi Islam telah ditunjukkan dalam tradisi Islam. Menurut Nasrajaran Al-Qur’an menunjukkan keselarasan antara kontemplasi dengan aksi, atau antara al-ilm dengan al-amal. Di dalam penciptaan alam semesta maupun di alam realitas metakosmosnya, senantiasa diikuti oleh seruan untuk beraksi secara benar sesuai prinsip-prinsip yang diperoleh dari kebijaksanaan tersebut. 28 Itulah sebabnya, di dalam penciptaan alam semesta, Dia tidak saja berkata Kun (jadilah), tetapi melanjutkan dengan aksi mewujudkan sesuati yang terucap. Di sini, menurutnya, aksi Allah berkaitan erat dengan kontemplasi -Nya terhadap esensi segala sesuatu.
Kesimpulan
Sayyed Hossein Nasr merupakan seorang cendekiawan muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi keilmuan yaitu Islam tradisional dan Barat modern. Kondisi ini membuat sebuah akumulasi intelektua litas yang integratif. Di satu sisi, lompatan intelektualitas sebagai efek dari pendidan Barat modern memberikan nilai tersendiri di dalam kehidupannya, di sisi lain nilai tradisi keislaman mewarnai aktifitas kehidupannya yang juga akhirnya melengkapi kepribadiannya sebagai sosok intelektual Islam yang tipikal.
Menurut Nasr. kehidupan manusia harus dilandasi oleh prinsip keseimbangan, yaitu keseimbangan pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani. Kebahagiaan hakiki tidak pernah dirasakan jika yang dipenuhi han ya kebutuhan jasmani semata, sebaliknya kehidupan tidak dapat dikatakan layak jika manusia hanya mengutamakan kebutuhan ruhani seraya mengabaikan kebutuhan jasmaninya.
Mengamalkan nilai -nilai sufisme dalam kehidupan posmodernisme merupakan sebuah alternatif dalam mengimbangi kehidupan kapitalisme global yang menawarkan ruang yang di dalamnya hasrat dapat mengalir dengan bebas. Perangkap kapitalisme global menyeret manusia menjadi pelayan dari jaringan semiotika kapitalisme ; irama dan gaya hidup; hanyut dal am badai hasrat yang tidak pernah berhenti, sehingga tidak memiliki lagi ruang bagi peningkatan kualias jiwa.
Untuk menyikapi perkembangan global seperti itu, sufisme yang ditawarkan tampaknya tidak cukup dengan mengedepakan ajaran sufisme masa lalu. Nilai -nilanya harus dikembangkan, disesuaikan, direformulasi atau direkonstruksi sesuai dengan irama perkembangan zaman, dengan susbtansi yang nilai -nilainya tidak tercabut dari akar sufisme itu sendiri yang berlandaskan pada nilai -nilai humanistis dan transcendental.
Sufisme, yang merupakan dimensi esoteris dan spiritual tradisi Islam, yang terutama sekali kompetibel dan relevan untuk mereka dan setiap kemanusiaan secara langgeng. Sufisme yang dapat memenuhi fungsi itu adalah yang berakar dan terangkul dalam univeraum tradisi secara setia di mana antara kontemplasi dan aksi terlihat harmonis dalam upaya mencapai keutuhan dan akhirnya tiba pada tingkat tauhid.