Menjaga Sifat Wara Prinsip dasar wara’ adalah sifat yang berisi kehati-hatian yang luar biasa dan tidak adanya keberanian untuk mendekati sesuatu yang bersifat haram, termasuk juga hal-hal yang sifatnya ragu-ragu atau subhat.
Wara adalah Suatu Sikap Berhati-hati Meninggalkan Sesuatu yang Dikhawatirkan Membahayakan Kehidupannya di Akhirat Nanti.
Seseorang yang Meninggalkan suatu Hal yang Masih Samar karena Khawatir termasuk Perbuatan Haram, itu adalah Bentuk Sikap Wara.
Dan dalam hal ini, Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.
Baca Juga ;
Wara’ membawa ketenangan hati
Imam al-Bukhari ra mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan ra: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Begitu juga terhadap hal dimana hati mengingkarinya sesuai Ibnu ‘Asakir ra:“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.
Terkait dengan gerak hati ini, Nabi Saw bersabda:
“Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap preventif dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram.
Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda: “Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni)
Sebagian ulama membagi wara kepada tiga tingkatan.
Pertama, meninggalkan yang haram, dan ini umum untuk seluruh manusia.
Kedua, menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
Ketiga, meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh.
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
Artinya: “Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”
Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qasidin mengelompokkan orang ke dalam beberapa tingkatan wara’.
Pertama, Menjauhi yang haram dan mengambil yang halal.
Ada kaitan erat antara makan-minum yang halal dengan kualitas keimanan. Jika seseorang merasa bahwa doanya tak kunjung dikabulkan atau keinginan yang tak kunjung terwujud. Bisa jadi hal itu adalah pengaruh makanan haram yang masuk ke lambungnya.
Saad bin Abi Waqqas dikenal sebagai sahabat Nabi SAWyang paling manjur doanya? Hal itu adalah buah dari wara’. Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah menyuapkan makanan ke mulutku. Kecuali aku tahu dari mana makanan itu datang?”
Sungguh benar ucapan para istri salafus shalih sesaat sebelum suaminya pergi bekerja. “Setiap kali menyusui anak kita, aku dalam keadaan suci dengan berwudhu. Karena itu janganlah menyuapi kami dengan makanan haram. Sungguh, kami bisa sabar menahan lapar daripada menahan panasnya api neraka.”
Kedua, Menjauhi syubhat.
Syubhat adalah hukum antara halal dan haram atau kondisi dimana halal bercampur dengan yang haram sehingga menimbulkan keraguan. Karena itu, Imam Ahmad mengatakan, “orang yang meninggalkannya berarti telah menyelamatkan agamanya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga,meninggalkan hal mubah yang dapat berubah menjadi haram.
Sifatini merupakan tanda kesempurnaan takwa.Perlu diperhatikan, bahwa perkara mubah jika dilakukan berlebihan dapat melalaikan dari ibadah wajib. Karena itu, cara ini sering digunakan setan dalam menjauhkan manusia dari hidayah. Ketika manusia tidak mempan saat dibisikkan kekafiran. Juga tidak bisa digoda dengan bidah, dosa besar lalu dosa kecil. Setan menggodanya dengan hal mubah. Banyak yang tak merasa jatuh dalam perangkapnya karena menganggap bahwa yang dilakukannya bukan dosa.
Kadang patokan melakukan sesuatu bukan hanya dosa atau bukan dosa. Unsur manfaat juga perlu diperhatikan. Sehingga, sebelum melakukan sesuatu bertanyalah di hati, “Apa manfaatnya bagi agama saya?”
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Bersabda Rasulullah SAW, “Di antara baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya.” (HR. at-Tirmidzi)
Keempat, Menghindari semua yang bukan karena Allah SWT.
Menurut Yahya bin Muadz, wara’ adalah kombinasi amalan dhalir dan batin. Adapun dhahir yaitu tidak menggerakkan anggota tubuh kecuali untk Allah SWT. Sedangkan batin, yaitu menjaga hati dari keinginan selain Allah SWT.
Misalnya para sahabat Nabi SAW. Allah SWT memberi mereka harta dunia yang melimpah. Tapi, materi tersebut hanya ada di tangan, tak sampai masuk ke hatinya. Bahkan penampilan merekapun tak menandakan kemasyhuran orang kaya. Dalam suatu kisah disebutkan bahwa ada orang yang mengira Abdurrahman Bin Auf sebagai budak. Sebab, saat beliau berada diantara budaknya, penampilan mereka tak bisa dibedakan.
Inilah gambaran sempurna sifat wara’. Sungguh, beruntung orang yang dapat menjaganya, karena sifat ini merupakan ciri para Nabi dan orang shalih. Karena itu, semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.
Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Zuhud adalah:
Meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfa’at di akhirat.
– Sedangkan wara’ adalah:
Meninggalkan apa-apa membahayakan untuk akhirat.”
Semoga Bermanfaat.