Hakikat Puasa Ramadhan Kebanyakan orang memahami arti “puasa” (shaum) secara harfiah, yaitu ‘menahan’, tepatnya ‘menahan lapar’ sebagai latihan pengendalian diri.
Disebabkan berhenti pada makna harfiahnya, kita sering lalai akan makna hakiki puasa.
Menurut Al-Qusyairi puasa itu ada dua: puasa lahir dan puasa batin.
Puasa lahir sebatas menahan (dari lapar dan dahaga) dari segala sesuatu yang membatalkan disertai dengan niat.
Baca Juga
Sementara puasa batin adalah puasanya hati (qalb) dari segala penyakitnya; puasa jiwa (ruh) dari semua bentuk kenyamanan dan ketenangan; puasa sirr dari segala bentuk pengawasan.
Menurut Al-Ghazali, membagi puasa dalam tiga tingkatan: umum (awam), khusus (spesial), dan khususil khusus (istimewa).
Pertama, puasa umum atau awam menahan perut dan kemaluan dari pemenuhan syahwat.
Kedua, puasa khusus (spesial) menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kedua kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela dan dosa.
Ketiga, puasa khususul khusus (istimewa) puasanya hati dari kehancuran agama dan pemikiran duniawi, serta menahan dari selain Allah SWT.
Lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan tentang kesempurnaan puasa khusus:
Pertama, menjaga pandangan (ghadhdhul bashar).
Kedua, menjaga lisan. Puasanya lisan, menurut Al-Ghazali, berarti menjaganya dari perkataan yang sia-sia, dusta, ungkapan adu domba, perkataan keji, ucapan yang merusak hubungan, kata permusuhan, dan ungkapan yang mengandung riya.
Dalam konteks kekinian, menjaga lisan dapat dianalogikan dengan tulisan. Tulisan tidak saja mengubah satu pikiran, tapi mampu menembus ribuan pikiran manusia.
Seperti ungkapan Sayyid Qutb, “Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala, namun tulisan bisa menembus ribuan kepala.” Tulisan yang baik bisa mempengaruhi dan menyebarkan kebaikan kepada semua orang.
Tapi tulisan yang berisi fitnah, kebohongan, dan kebencian (hate speech) dapat melahirkan dusta dan kebencian yang seterusnya menjadi sesuatu yang dibenarkan.
Ini mengingatkan kita akan pernyataan Paul Joseph Goebbels, seorang menteri propaganda Adolf Hitler yang menyatakan “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada masyarakat. Sebab kebohongan yang diulang-ulang akan membuat mereka percaya.”
Ketiga, mencegah pendengaran dan juga mempuasakan semua anggota tubuh kita dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Banyak orang berhasil berpuasa satu bulan penuh sepanjang Ramadhan tidak merasakan perubahan yang berarti dalam dirinya.
Hal-hal yang dilarang agama dan merugikan masyarakat, tetap saja dilakukan. Kebiasaan mengumbar nafsu berlangsung terus. Pengalaman keagamaan yang diperolehnya selama menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih tidak berbekas sedikit pun.
Syekh Ali Utsman al-Hujwiri, seorang salik abad ke-11 asal Afghanistan, mencoba menjelaskan sebab-sebab kecenderungan demikian muncul sebagai fenomena umum di kalangan umat Islam.
Banyak orang lupa, ibadah puasa adalah suatu perjuangan batin menaklukkan kecenderungan buruk dalam diri kita. Ini disebut mujahadah. Tujuannya untuk mencapai kesaksian yang mendalam (musyahadah) akan keesaan dan kasih sayang Tuhan.
Mujahadah dan musyahadah, jika dihayati sungguh-sungguh, merupakan medan perang bagi manusia.
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya mustajab (dikabulkan), amalnya diterima. Sesungguhnya bagi seorang yang berpuasa di saat berbuka do’anya tidak tertolak!” (Bihar al-Anwar 93:360)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada satu surga yang pada pintunya ada penjaga yang melarang siapapun masuk kecuali orang-orang yang berpuasa.” (Al-Bihar 96:252)
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (Furu’ al-Kafi 4:65)
Sayyidah Fathimah az-Zahra as berkata, “Dia (Allah swt) menjadikan puasa sebagai penguat keikhlasan” (A’yan al-Syi’ah 1:316). Karena itu, patut kita memetik hakikat puasa. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk memahami hakikat puasa, sehingga pintu surga terbuka lebar untuk kita. Aamiin.