Ikhlas Menurut Para Ulama Menurut sebagian pakar, ikhlas bermakna shafa’ (bening), dari perkataan shafa ‘al-qalb (beningnya hati) lantaran orang ikhlas adalah orang yang hatinya bening atau bersih.
Menurut Imam Ghazali, ikhlas bermakna shidq-u al-niyyah fi al-‘amal (niat yang benar dalam bekerja atau beribadah). Ini berarti, setiap amal dan kebaikan haruslah dilakukan karena Allah SWT.
Tanpa ketulusan, maka semua kebaikan yang kita lakukan, selain tidak sejati, juga terancam penyakit hati yang sangat berbahaya, yaitu riya’ (pamrih) dan syirik. Orang yang tulus pada hakikatnya adalah orang yang diselamatkan oleh Allah dari dua penyakit itu: riya’ dan syirik.
Baca Juga
Dalam konteks inilah Ghazali berkata, ”Semua manusia akan rugi, kecuali orang-orang yang berilmu. Orang berilmupun akan rugi, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Dan orang beramalpun akan rugi kecuali yang ilkhlas dalam beramal.
Berbeda dengan manusia pada umumnya, orang yang tulus memiliki ciri-ciri yang khas.
Pertama, mereka tidak terpengaruh oleh pujian dan cercaan manusia. Bagi mereka pujian atau cercaan sama saja. Oleh sebab itu, orang yang masih suka dipuja dan takut dicerca, pastilah ia bukan tipe orang yang ikhlas.
Kedua, mereka tidak berharap imbalan apa pun (pamrih) dari amal kebaikan yang mereka lakukan, selain mengharap perkenan dan ridha Tuhan. Dari sini diketahui bahwa orang yang bekerja dan beribadah karena motif-motif dan kepentingan duniawi, seperti mencari muka dan popularitas, serta demi pangkat dan kedudukan, maka ia sama sekali bukan orang ikhlas. Dalam hadis Bukhari diterangkan bahwa orang semacam itu akan menyesal dan nelangsa, lantaran tidak memperoleh kebaikan apa pun di akhirat kelak.
Ketiga, mereka lupa dan tidak ingat lagi semua kebaikan yang pernah dilakukan. Orang yang selalu menuturkan kebaikannya apalagi disertai cercaan (al-mannu wa al-adza) kepada orang yang pernah diberinya bantuan, sungguh ia jauh dari orang ikhlas.
Ikhlas adalah kunci utama diterimanya sebuah amal. Percuma berbuat baik bila niatnya bukan karena Allah swt. Banyak-sedikitnya amal bukan penentu diterima atau tidaknya ibadah, tetapi keikhlasan dalam beramal yang menjadi kuncinya.
Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya sama. Berikut perkataan ulama-ulama tersebut.
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:
- Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
- Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
- Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”
Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
- Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.
- Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
- Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
- Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.
Abu ‘Utsman rahimahullah mengatakan, “Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian) al-Khaliq.” (lihat Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Abu Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)
Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).
.Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).
Dalam berbagai kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja.
Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58). Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas sebagai berikut:
فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية
دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك
Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”
Pada tingkatan ini orang yang melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah semata. Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah adalah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun.
Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya.
Adapun tingkatan ikhlas yang kedua Syekh Nawawi menuturkan lebih lanjut:
والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها
Artinya: “Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”
Pada tingkatan kedua ini orang yang beramal melakukan amalannya karena Allah namun di balik itu ia memiliki keinginan agar dengan ibadahnya kelak di akherat ia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Ia beribadah dengan harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yang tiada duanya.
ribadah dengan niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak.
Lebih lanjut Syekh Nawawi menuturkan:
والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات
Artinya: “Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”
Tingkat keikhlasan yang ketiga ini adalah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan karena Allah namun ia memiliki harapan akan mendapatkan imbalan duniawi dengan ibadahnya itu. Sebagai contoh orang yang melakukan shalat dluha dengan motivasi akan diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dengan harapan akan mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya.
Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas karena agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat untuk melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya adalah tingkat paling rendah.
Lalu bagaimana bila seorang yang beribadah atau melakukan suatu amalan dengan motivasi selain tiga hal di atas? Semisal orang beribadah dengan harapan akan dipuji dan dianggap orang lain sebagai orang yang taat, mencari ilmu dengan harapan akan dihormati orang lain sebagai orang yang alim, bersedekah dengan harapan akan mendapatkan suara banyak dalam pemilihan lurah, kepala daerah atau wakil rakyat.
Masih menurut Syekh Nawawi bahwa yang demikian itu termasuk sikap riya yang tercela, bukan ikhlas. Beliau menegaskan:
وما عدا ذلك رياء مذموم
Artinya: “Selain ketiga motivasi di atas adalah riya yang tercela.” Wallâhu a’lam.