Menggapai Kebahagiaan

Menggapai Kebahagiaan
banner 120x600

Menggapai Kebahagiaan Secara etimologis, kebahagiaan adalah kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir dan batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir dan batin (Sugono, 2014 : 114). Sedangkan secara terminologis, definisi kebahagiaan menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Hamka adalah ketika manusia dapat mengendalikan tiga hal yaitu: kekuatan marah, kekuatan syahwat, dan kekuatan ilmu (Hamka, 2015 : 19).

Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Semua manusia dari belahan dunia manapun, pastilah sangat ingin untuk merasakan kebahagiaan. Maka tidak mengherankan jika tema-tema seputar kebahagiaan tidak hanya menjadi perhatian Ilmu Tasawuf saja, bahkan hampir dalam setiap ilmu-ilmu sosial membahas persoalan kebahagiaan tersebut, seperti: Psikologi, Filsafat, dan Ilmu Agama. Dalam artikel ini, dibicarakan makna kebahagiaan hanya dalam konteks Ilmu Tasawuf saja.

Ilmu Tasawuf menjelaskan bahwa sumber kebahagiaan itu berasal dari dalam jiwa. Jiwa yang bagaimanakah yang menjadi letak kebahagiaan? Dalam konteks tasawuf, jiwa yang dimaksud adalah jiwa yang tenang (al-Nafs al-Muthmainnah) (Batubara, 2015 : 258). Agar manusia dapat mencapai jiwa yang tenang tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan.

Menggapai Kebahagiaan

Pertama, jiwa itu harus dilepaskan dari kungkungan syahwat jasmaniyah. Caranya adalah dengan menamkan paradigma keakhiratan. Manusia dalam melakukan segala aktivitasnya tidak boleh hanya berhenti pada tujuan-tujuan keduniawian (materi), tetapi harus sampai kepada orientasi keakhiratan. Misalnya, seberat-beratnya beban hidup membuat manusia bekerja siang dan malam. Kerja kerasnya itu akan membuat jiwa terbebani jika orientasinya materi semata-mata. Ketika kerja kerasnya itu tidak mendapatkan bayaran yang setimpal, timbullah hati yang sempit; kerja asal-asalan, mendongkol, dan sirnalah kebahagiaan. Berbeda dengan kerja keras yang berorientasi akhirat, maka dia tidak kecewa, sebab dia yakin bahwa kerjakerasnya itu adalah amal ibadah dan ladang pahala, sehingga ia senantiasa berbahagia. Manusia yang mengejar akhiratnya, maka dunia akan mengikutinya, sehingga ujungnya kebahagiaan. Sedangkan manusia yang mengejar dunia, maka akhirat belum tentu samapai, sehingga ujungnya kegelisahan.

Kedua, jiwa yang tenang itu muncul dengan cara banyak-banyak melakukan kebajikan. Kebaikan akan membuat orang yang melakukannya dan orang yang menerimanya sama-sama merasakan kebahagiaan. Oleh sebab itulah, Islam telah mendorong manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya:

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan di mana saja kamu berada pasti Allah SWT akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 148).

Ketiga, melatih jiwa agar konsisten terpaut kepada Allah SWT. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berdzikir setelah melaksanakan shalat. Dzikir dalam hal ini bukanlah dzikir dari segi kuantitas yang lebih mengedepandankan banyaknya jumlah dzikirnya, melainkan dzikir secara kualitas; yaitu dengan menghadirkan hati dan sadar akan dzikir yang dilakukan itu dengan penuh kehusyukan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata kunci untuk mencapai kebahagiaan terletak pada jiwa manusia. Ketika jiwa manusia itu tenang, maka otomatis ia akan merasakan kebahagiaan. Tasawuf tidak menawarkan kebahagiaan melalui sesuatu di luar diri manusia, melainkan kembali ke dalam diri (jiwa) manusia itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.